HAKEKAT MANUSIA MENURUT GABRIEL MARCEL (1889-1973)
Riwayat Hidup
Gabriel Marcel lahir tahun 1889 di Perancis. Ayahnya dibaptis dalam Gereja
Katolik, tetapi kemudian tidak lagi memiliki keyakinan religius. Demikian juga
ibunya yang berasal dari keturunan Yahudi. Ibunya
meninggal ketika Marcel berumur 4 tahun. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan
adik ibunya. Dalam pengalamannya, Marcel merasakan bahwa pernikahan yang kedua
dari ayahnya tidak memberikan kebahagiaan bagi hidupnya. Sebaliknya, kepergian
ibunya sungguh menjadi pengalaman kehilangan dalam hidupnya. Pengalaman
kematian ibunya juga menjadi pergumulan dalam ide-ide filosofisnya. Sampai
akhirnya ia mempertanyakan apa yang terjadi dengan orang mati.
Marcel melewati masa
mudanya setahun di Swedia. Selama perang dunia I, Marcel menggabungkan diri
dalam kelompok palang merah Perancis. Dari sini kita
dapat mengetahui bahwa pemikiran filosofis Marcel juga dipengaruhi oleh situasi
pada masa perang dunia I. Selain itu, Marcel juga pernah belajar di Lyce’e
Carnot dan kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne. Di
universitas inilah Marcel meraih gelar Agre’gation de Philosophie dalam
usia yang sangat muda (20 tahun). Di universitas Sorbonne sendiri muncul dua
aliran besar yakni Positivisme dan Idealisme. Dua aliran besar ini memiliki
pengaruh dalam pemikiran Gabriel Marcel. Selain itu, Ia juga pernah mengajar di
berbagai tempat antara lain Lyce’ss, Vendo’me, Paris, Sens, tetapi
umumnya tidak lama. Selama perang dunia II, ia diminta untuk kembali mengajar
di Paris dan Montpellier.
Pada tahun 1919,
Marcel menikah dengan Jacqueline Boeqner seorang Protestan.
Pernikahannya ini membawa kebahagiaan besar dalam hidupnya. Ia kemudian masuk
Katolik tahun 1929 dalam umur 39 tahun. Di tengah
kesibukannya, Marcel tetap menyediakan waktu untuk melakukan diskusi bersama
sahabat-sahabatnya. Setelah perang dunia II, Marcel banyak diminta untuk
memberikan kuliah di luar negeri antara lain; Jerman, Norwegia, Portugal,
Amerika Serikat, Kanada, Amerika Selatan, Maroko, Libanon dan Belanda. Dari
kerja kerasnya ini, Ia dianugerahi banyak pengahargaan baik dari dalam maupun
luar negeri.
Karya-karya Gabriel Marcel
Umumnya karya-karya Gabriel Marcel termuat dalam buku harian, kumpulan
ceramah dan artikel yang ditulisnya. Ia menerbitkan bukunya yang pertama
tentang Jurnal Metafisis (Journal Me’taphysique). Buku ini sebenarnya
adalah persiapan untuk disertasinya, namun tidak pernah selesai. Buku-buku lain
yang kemudian ditulisnya adalah Position et Approaches Concre’tes du
Myste’re Ontologique (Perumusan dan Pendekatan-pendekatan Konkret
Misteri Ontologi) tahun 1932. Kemudian E’ter et Avoir tahun 1935 ( Ada
dan Mempunyai). Tahun 1940 Du Refus a’ l’invocation (Dari Penolakan
kepada Panggilan). Tahun 1945 Homo Viator (manusia yang sedang
Berjalan). Le Myste’re de L’ e’tre (Misteri Ada) dalam dua jilid tahun
1951. Juga ditahun 1951 terbit buku Les Hommes Conter l’humaine (Manusia
Melawan yan Manusiawi). Tahun 1955 L’homme Proble’matique (Manusia
sebagai Problem). Di tahun 1959 Presence et Immortalite’ (Kehadiaran dan
Kebakaan). Tahun 1964 La dignite’ Humaine (Martabat Manusia) dan Paix
sur Terre tahun 1965 ( Damai di Bumi).
Selain menulis buku-buku, Marcel juga menulis banyak naskah drama. Bakat untuk
menulis drama ini tidak terlepas dari pengaruh ayahnya yang sangat mencintai
teater. Dari sekian banyak karyanya ini, penulis menyimpulkan bahwa Marcel
adalah salah seorang filsuf yang sangat produktif bukan hanya dalam menulis,
tetapi juga dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar dan dalam memberikan
pengajaran ke berbagai tempat (negara). Namun, untuk konteks Indonesia
karya-karya Gabriel Marcel masih sangat terbatas. Demikianpun komentar atas
karya-karya yang telah ditulisnya itu. Keterbatasan inilah yang barangkali
menjadi kendala bagi setiap pribadi yang ingin bergumul lebih jauh tetang
pemikiran tokoh ini.
Selayang Pandang Pemikiran Gabriel
Marcel
Titik tolak pemikiran filosofis Gabriel Marcel adalah masalah “eksistensi” atau
“Ada”. Bagi Marcel eksistensi atau hal berada itu merupakan sesuatu yang pasti.
Misalnya saja, ketika saya mengatakan Aku berada, itu merupakan sebuah
kepastian bahwa Aku ada. Karena itu, tidak mungkin
orang memikirkan ada itu sebagai sesuatu yang tidak pasti.
Pertanyaan siapakah Aku, merangkum jawaban tentang adanya aku. Artinya ketika
Aku berbicara tentang ada, Aku sendiri masuk di dalamnya.
Di sini, Marcel membedakan dengan tegas antara Ada dan Mempunyai.
Ada sebagaimana yang telah dikatakan di atas adalah sesuatu yang pasti,
sementara mempunyai memiliki arti kepemilikan atau seseorang memiliki
sesuatu. Misalnya, saya mempunyai sepeda pancal. Namun, Marcel sendiri menilai
bahwa mempunyai juga memiliki arti implikasi. Contohnya adalah sebuah
segi tiga yang memiliki tiga sudut. Letak implikasinya ialah jika ada segi tiga
dan gambarnya mempunyai tiga sudut. Tetapi kesulitan
bagi kita ialah Marcel tidak menjelaskan lebih lanjut tentang arti implikasi
ini. Ia justeru berlangkah lebih jauh pada makna ada itu sendiri.
Ada bagi marcel tidak akan tampak sebagaimana mestinya, jika tidak
dikorelasikan dengan sebuah relasi. Ada selalu memiliki arti Ada-bersama (esse
est-coesse), bahwa manusia hidup dan ada bersama orang lain.
Oleh sebab itu, Marcel menekankan suatu relasi intersubjektivitas dalam
memahami arti Ada-bersama ini. Dari sinilah, ia mulai
menguraikan arti sebuah Kehadiran.
Pengalaman akan
Ada-bersama merupakan eksistensi yang tidak dapat ditolak oleh manusia.
Kehadiran (presence), bagi Marcel merupakan sebuah Misteri.
Kehadiran melampaui ruang dan waktu manusia. Hadir bukan soal ada bersama orang
lain di suatu tempat atau waktu tertentu. Ia membedakan dengan jelas relasi “Aku-Engkau
dengan Aku-Ia”. Relasi Aku-Ia nampak sebagai relasi fungsional
semata. Misalnya, seseorang itu tampak sebagai seorang sopir, polisi dan
sebagainya. Berbeda dengan relasi Aku-Engkau. Dalam relasi Aku-Engkau,
orang lain dipandang sebagai sesama. Karena itu, walaupun berjauhan relasi Aku-Engkau
masih dapat diwujudkan.
Relasi Aku-Engkau
menurut Marcel juga tidak dapat dipisahkan dari relasiku dengan dunia ini.
Sebab dalam kenyataannya, Aku ada dan hadir di dunia ini. Kehadiranku di dunia
ini menuntut Aku untuk terbuka terhadap dunia.
Sebagaimana Aku terbuka terhadap sesama sebagai ciri eksistensiku, demikian
juga Aku terbuka terhadap dunia ini. Sebagai
konsekuensinya ialah dunia ini bukan hanya milikku, tetapi milik bersama. Dengan kata lain, kehadiranku di dunia ini menuntut Aku
untuk terbuka terhadap sesama sekaligus terhadap dunia yang juga adalah milik
orang lain.
Relasi Aku-Engkau
yang dipikirkan Marcel mencapai puncaknya pada taraf “Kita”. Namun, Kita
yang dimaksudkan Marcel bukan hanya dua pribadi, tetapi melebihi itu.
Sehinggga, realisasi dari kehadiran secara istimewa adalah relasi Cinta.
Marcel tidak bermaksud menerapkan konsep cinta secara sempit. Tetapi cinta
dalam pemikiran Marcel berarti Aku-Engkau menjadi Kita yang membentuk
sebuah kebersamaan (kommnion). Dalam cinta,
tidak ada keterpisahan Aku-Engkau, tetapi kita menjadi satu dalam
kebersamaan yang berlansung terus-menerus. Marcel menilai bahwa dalam
pengalaman cinta terkandung nilai kesetiaan dan keterikatan (engagement dan
fidelite).
Cinta bagi Marcel
merupakan pengalaman eksistensial manusia. Cinta bukan sesuatu yang objektif
melainkan misteri, karena melibatkan kedua belah pihak secara aktif. Selain
itu, mencintai bukan sebuah kegiatan untuk mengetahui orang lain, melainkan
sebuah panggilan dari Aku kepada Aku yang lain. Aku mencintai Aku yang lain
bukan karena Aku yang lain itu menarik atau memiliki keistimewaan dalam
dirinya, tetapi Aku mencintai Yang lain karena Yang lain itu adalah dirinya
sendiri.
Dari uraian tentang
cinta di atas, kita melihat bahwa konsep cinta dalam Marcel, melampaui realitas
atau kenyatan hidup seseorang. Dalam artian, mencintai Yang lain, tidak
memandang latar belakangnya (ekonomi, agama dan sebagainya), tetapi mencintai
karena sebuah panggilan. Selain itu, mencintai Yang lain juga melampaui batas
ruang dan waktu. Aku mencintai Yang lain bukan karena Yang lain itu selalu ada
di dekatku atau karena Yang lain itu telah memberikan sesuatu bagi hidupku.
Karena itu, cinta sebagai misteri menuntut Aku dan Yang lain menceburkan diri
dalam pengalaman cinta. Hanya dengan menceburkan diri dalam pengalaman cinta,
Aku dapat memahami dengan lebih baik apa artinya cinta.
Gabriel Marcel kemudian
berlangkah maju pada refleksi “Tubuh sebagai Tubuhku”. Baginya, refleksi
Tubuh sebagai Tubuhku adalah cara yang menarik untuk dapat mengerti “Ada”
dan “Mempunyai”. Aku adalah tubuhku merupakan fakta adanya Aku. Dan
Aku memiliki tubuh hendak menggarisbawahi kepemilikanku atas tubuhku sendiri.
Tubuhku bukan menjadi objek bagiku seperti seorang ahli yang meneliti tentang
tubuhku atau tubuh orang lain. Berbeda dengan saya mempunyai anjing, yang saya
temukan di jalan atau di beli di pasar. Marcel mengatakan:
Is my body my body, for instance, in the same sence in which I would
say that my dog belongs to me? The question, let us first of all notice, of how
the dog originally came in to my hands is quite irrelevant here. Perhaps I
found it wandering wretchedly about the streets, perhaps I bought it in a shop;
I can say it is mine if nobody else puts in a claim for it-though this is still
quite a negative condition of ownership. For the dog to be really, not merely
nominally, mine there must exist between us a more positive set of relations.
He must live, either with me, or as I, and I alone, have decided he shall
live-lodged, perhaps, with a servent or a farmer; whether or not I look after
him personally, I must assumse the responsibility for his being looked after.
Analogi kepemilikan terhadap anjing di atas berbeda dengan kepemilikanku
terhadap tubuhku sendiri. Artinya, Aku memiliki tanggung jawab terhadap tubuhku
untuk menjaganya. Karena itu, Aku dapat mengklaimnya
sebagai milikku yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Namun, dalam situasi tertentu anjing yang taat terhadap
diriku, juga analog dengan kesatuanku dengan tubuhku. Misalnya, dalam keadaan
sakit dimana saya tidak dapat mengendalikan tubuhku, sehingga tubuhku “bukan
lagi menjadi tubuhku”.
Puncak
refleksi filosofis Marcel tentang kehadiran adalah Aku Yang Absolut. Ia
sangat menolak usaha untuk membuktikan adanya Allah, sebab usaha pembuktian
adanya Allah selalu berada dalam ranah objektivitas manusia. Karena itu, Ia
mengakui kehadiran Allah sebagai misteri yang menjangkaui keberadaan saya.
Selain itu, kepercayaan akan kehadiran Allah merupakan dasar untuk mengakui
kehadiran Yang lain. Di dalam kepercayaan, ada harapan terhadap kehadiran Allah
yang absolut. Namun, harapan itu bukan sesuatu yang baru terjadi di masa
mendatang, tetapi sebuah kesaksian kreatif terhadap Engkau absolut yang selalu
memelihara saya.
Komentar
Posting Komentar